A. Cerita tentang Kerajaan Nusatembini
Cerita sejarah tentang
Kerajaan Nusatembini mengambil setting di wilayah sekitar Pulau
Nusakambangan. Nusatembini diceritakan sebagai sebuah Kerajaan Siluman yang cukup
besar. Kerajaan ini memiliki wilayah di sekitar pantai Cilacap hingga pulau
Nusakambangan. Keraaan ini memiliki benteng alamiah berupa tanamana bambu
hingga tujuh lapis (Baluwarti pring ori pitung sap). Penggambaran
benteng alamiah dari pagar bambu lapis tujuh itu dapat ditafsirkan bahwa si
pembuat cerita hendak mengatakan bahwa pertahanan kerajaan Nusatembini terebut
cukup kuat. Selain itu juga menunjukkan bahwa tanaman Bambu Ori merupakan
tanaman yang biasa digunakan sebagai pagar atau pengamanan bagi masyarakat
Cilacap terhadap gangguan keamanan.
Kerajaan Nusatembini dipimpin oleh seorang penguasa wanita (raja putri)
berparas cantik bernama Brantarara. Kecantikan sang putri menarik
perhatian para penguasa dari kerajaan lain untuk menjalin kerjasama hingga
mempersuntingnya sebagai permaisuri. Akan tetapi untuk mempersunting sang putri
tidaklah mudah, karena begitu ketatnya penjagaan dan pertahanan. Banyak raja
yang gagal hanya sekadar untuk dapat memasuki wilayah istana kerajaan Nusatembini.
Cerita tentang keberadaan penguasa Kerajaan dari kaum hawa ini sesungguhnya
dapat dipandang sebagai simbol tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam
hak-hak politik. Dengan demikian pandangan yang mengangap bahwa dalam budaya
Jawa kaum wanita dipandang lebih rendah dibandingkan dengan kaum pria tidak
terbukti dalam alam pikiran si pembuat cerita sejarah Kerajaan Nusatembini
tersebut. Dalam kebudayaan Cilacap ada nilai yang menganggap bahwa wanita juga
memiliki kekuatan memerintah, bahkan dalam cerita itu melampaui kemampuan
laki-laki.
Persoalannya adalah kapan sesungguhnya asal cerita Kerajaan Nusatembini ini
berasal. Penulis sejarah dan hari jadi Cilacap versi Pemerintah Cilacap
mengatakan bahwa Kerajaan Nusatembini berasal dari zaman pra sejarah. Hal itu
katanya dibuktikan dengan adanya peninggalan dua rumpun bambu ori yang
merupakan peninggalan benteng Kerajaan Nusatembini. Pada tahun 1970 peninggalan
peninggalan yang dipercaya berasal dari masa pra sejarah itu masih ada yang
berlokasi di kompleks dermaga Pelabuhan pasir Besi, akan tetapi pada sat ini
peninggalan itu sudah hilang.
Menurut hemat kami, cerita tentang Kerajaan Nusatembini memang bukan mengambil
zaman Islam, tetapi juga bukan pada masa pra sejarah. Zaman pra sejarah tidak
dikenal konsep kerajaan, yang ada hanya Primus Interpares, dan
umumnya laki-laki tertua. Konsep kerajaan baru muncul pada masuknya kebudayaan
Hindu dan Budha di Indonesia. Dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa latar
belakang sejarah Kerajaan Nusatembini sesungguhnya adalah masa Hindu dan Budha
di wilayah Cilacap.
Tafsir bahwa latar belakang cerita tentang Kerajaan Nusatembini Nusatembini
adalah Hindu Budha didukung dengan cerita lain yang terkait dengan kerajaan
tersebut. Cerita rakyat dalam masyarakat Cilacap menceritakan bahwa di sebelah
barat dari Kerajaan Nusatembini adalah Kerajaan Galuh Pakuan Pajajaran. Dalam
catatan sejarah, kerajaan ini merupakan salah satu kerajaan Hindu yang amat
berkuasa di wilayah tatar Sunda. Oleh karena Kerajaan Nusatembini sezaman
dengan Kerajaan Galuh, maka dapat dipastikan bahwa cerita tentnag adanya
Kerajaan Nusatembini berasal dari zaman perkembangan Hindu dan Budha.
Kerajaan Galuh Pakuan Pajajaran merupakan kerajaan besar. Berbeda dengan
Nusatembini, penguasa Pakuan Pajajaran adalah seorang pria yang gagah berani.
Pada masa pemerintahannya ia dicobai Tuhan dengan berkembangnya wabah penyakit
yang menyerang rakyatnya. Akan tetapi rakyatnya menjadi sangat menderita karena
banyak di antara mereka yang harus kehilangan anggota keluarga akibat ganasnya
wabah penyakit tersebut. Raja Pajajaran ini berusaha mencari cara untuk
memecahkan masalah yang sedang melanda negerinya. Segala usaha telah dilakukan
untuk mengatasi wabah tersebut, tetapi sia-sia. Raja Merasa sedih melihat
penderitaan yang menimpa rakyat di seluruh negerinya, dan semakin sedih lagi
ketika putra dan putrinya juga terserang penyakit.
Ketika raja sudah hampir putus asa dalam mengatasi wabah penyakit yang melanda
negerinya, datanglah seorang pendeta (wiku). Pendeta tersebut menyampaikan
maksud kedatangannya hingga terjadi dialog seperti kutipan berikut :
Pendeta
: ”Gusti Prabu junjungan hamba, ampunilah hamba ini akan segala kelancangan hamba
menghadap Gusti tanpa panggilan dan dengan segala kemurahan Gusti Prabu, kami
mohonkan maaf atas segala kesalahan ini”.
Raja
: ”Teramat gembira rasanya aku melihat kedatangan wiku
saat ini sebab memang ada sesuatu yang kini tengah merisaukan pikiranku
sebagai pimpinan pemerintahan di Kerajaan Pajajaran ini”.
Pendeta
: ”Gusti Prabu Junjungan hamba, rasanya hamba memaklumi
apa yang tengah Gusti hadapi pada saat ini karena adanya wabah penyakit yang
menimpa para kawula Pajajaran. Sampai pula Tuanku Putri saat ini terserang
wabah penyakit itu”.
Raja
: ”Rasanya memang demikian wikut, bahwa kerisauanku dan
kecemasanku masih amat mencekam. Tetapi apakah kiranya bapa wiku dapat
memberikan jalan keluar untuk mengatasi kesemuanya ini?”
Pendeta
: ””Gusti Prabu Junjungan hamba, kedatangan hamba ini
bermaksud untuk menyampaikan adanya ”wisik” atau ilham yang telah hamba terima.
Bahwasanya apa yang terjadi saat ini di lingkungan Kerajaan Pajajaran serta
penyakit yang diderita oleh Tuanku Putri junjungan hamba, masih dapat
disembuhkan dengan obat apa yang disebut ”Air Mata Kuda Sembrani”. Adapun obat
itu hanya dapat diusahakan dari bagian timur Kerajaan Pajajaran ini. Di arah
timur sanalah ada sebuah keratorn yang disebut Nusatembini dan disitulah obat
obat tersebut akan didapatkan. Tetapi untuk mencapai daerah itu serta
mendapatkannya tidak mudah, sebab lingkungan Kraton Nusatembini adalah
sangat gawat. Maka seyogyanya Gusti Prabu Junjungan hamba mengutus para abdi
dalem Pajajaran yang terpilih untuk menghadapi ratu putri yang memimpin keraton
tersebut.
Haturkanlah segala maksud Gusti untuk memohon apa yang disebut ”Air Mata Kuda
Sembrani” yang menjadi peliharaan sang ratu. Apabila usaha mendapatkan airmata
Kuda Sembrani itu berhasil, maka hal itu akan menjadi obat serta tumbalnya
(Penolak) Kerajaan Galuh Pajajaran dari segala mara bahaya yang bakal datang.
Raja Pajajaran merspon
positif saran-saran dari sang wiku tersebut. Raja tersebut kemudian
mempersiapkan diri untu kmenuju Nusatembini. Beberapa orang adipati yang berada
di bawah kekuasan Pajajaran yang dianggap mampu ditugasi menuju kerajaan
siluman diutus sang raja menuju Nusatembini. Petinggi utusan jatuh pada
Patih Harya Tilandanu yang dibantu oleh Adipati Gobog dan Adipati Sendang. Mereka
mengerahkan prajurit pilihan agar segala rintangan di perjalanan dapat diatasi.
Setelah persiapan untuk berangkat menuju Kerajaan Nusatembini selesai, maka
rombongan prajurit dari Pajajaran tersebut berangkat menuju kerajaan siluman di
pantai selatan Cilacap tersebut. Meskipun berasal dari prajurit pilihan,
perjalanan menuju Nusatembini ternyata tidak mudah. Mereka harus melewati alam
yang masih ganas berupa hutan belantara dan rawa-rawa yang membentang
luas. Dalam situasi alam yang demikian pra prajurit Pajajaran dengan semnagat
yang membara menuju Kerajaan Nusatembini agar memperoleh obat penyakit putri
raja ” air mata kuda sembrani”.
Para prajurit utusan Pajajran tersebut akirnya sampai di wilayah Cilacap.
Ketika sampai di wilayah Nusatembini mereka melihat adanya kekeuatan yan
mengelilingi kerajaan tersebut yang amat kuat. Para prajurit berusaha memasuki
istana kerajaan itu dengan berbagai cara. Akan tetapi kali ini usaha itu gagal
karena adanya benteng rumpun bambu yang berlapis-lapis rapat yang mengellingi
Kerajaan Nusatembini ibarat seperti pagar berlapis. Usaha untuk memasuki istana
Nusatembini berkali-kali dicobanya, dan ternyata selalu gagal.
Kegagalan berkali-kali untuk memasuki Istana Nusatembini tidak membuat para
prajurit Pajajaran putus asa. Dengan semangat membela sang Raja dan negaranya
mereka selalu mencari cara untuk dapat memasuki Istana Nusatembini. Adipati
Gobong, Adipati Sendang dan Patih Harya Tilandanu jalan lain diluar jalan
perang. Mereka bersemedi untuk mendapatkan ilham dan jalan keluar agar dapat
memasuki Istana Nusatembini. Setelah beberapa hari bersemedai akhirnya mereka
memperoleh petunjuk gaib. Dalam petunjuk gaib itu dikatakan bahwa benteng bambu
yang mengelilingi Nusatembini akan dapat dihancurkan denganmenggunakan peluru
emas.
Setelah mendapatkan
ilham tersebut para prajurit tata sunda utusan raja Pajajaran
tersebut mengubah taktik dalam memasuki Istana Nusatembini. Mereka
membuat peluru emas yang berasal dari uang emas untuk menghancurkan bambu yang
mengelilingi keraton dengan raja perempuan tersebut.
Pembuatan peluru emas dilakukan oleh rombongan prajurit Pajajaran di lokasi
yang tidak jauh dari Istana Nusatembini. Mereka singgah di suatu
daerah di dekat istana tersebut selama berhari-hari. Selain memproduksi peluru
emas, mereka juga mengatur siasat untuk melakukan penyerangan. Di daerah tempat
persiapan penyerangan ini dikenal dalam cerita rakyat Cilacap sebagai daerah
Donan. Satu daerah tempat Andon (bersinggah).
Setelh rencana penyerangan diatur secara matang, maka pada hari yang telah
ditentukan rombongan prajurit Pajajaran melakukan serangan ke Istana
Nusatembini. Serangan dilakukan oleh prajurit tangguh dengan menggunakan peluru
emas yang telah dipersiapkan sebelumnya. Peluru-peluru itu ditembakkan dan
berjatuhan dekat atau di bawah rumpun bambu yang membentengi Istana
Nusatembini. Para penduduk Nusatembini yang melihat peluru emas berjatuhan di
bawah pepohonan bambu berusaha mengambil peluru-peluru yang bernilai ekonomi
tinggi pada masa itu. Untuk dapat mengambil peluru tersebut mereka harus
menebangi pohon bambu yang berlapis-lapis tersebut.
Prajurit Pajajaran menyadari makna peluru emas ternyata sebagai alat memancing
penduduk dalam kerajaan untuk membuka isolasi kerajaan dengan menebang pohon
bambu yang menjadi benteng kerajaan. Sedikit demi sedikit akhirnya Prajurit
Pajajaran semakin dapat bergerak maju setelah dapat melewati rumpun-rumpun
bambu ori yang ditebangi oleh penduduk setempat. Prajurit Pajajaran akhirnya
berhasil memasuki dalam istana setelah berhasil melampaui tujuh lapis pagar
bambu yang telah habis ditebangi penduduk yang tergiur pada peluru emas yang
berjatuhan di bawah pohon bambu.
Certia tentang adanya peluru emas ini dapat ditafsirkan dua hal yang menyangkut
fakta-fakta historis dibalik cerita itu. Pertama, konsep senjata api
dalam kisah tersebut menunjukkan bahwa latar belakang cerita itu adalah pada
masa Kerajaan Pajajaran akhir menjelang berkembangnya agana Islam di Nusantara,
kemungkinan abad ke-15 dan ke-16. Hal itu dapat dijelaskan karena senjata api
diperkenalkan oleh orang-orang Portugis dan kemudian Belanda pada abad-abad
tersebut. Kedua, kelemahan suatu negara sehebat apapun akan dapat
dipatahkan dengan kekayaan. Emas yang merupakan simbol kekayaan yang bernilai
ekoomi tinggi telah menggoda rakyat Nusatembini sehingga dengan mudah dapat
disusupi oleh pasukan asing.
Para prajurit Pajajaran akhirnya dapat memasuki Istana Kerajaan Nusatembini.
Mereka bermaksud untuk menangkap sang ratu. Akan tetapi mereka mengalami
kesulitan, sebab sang ratu memberikan perlawanan. Melihat bahaya yang
mengancam, Raja Putri Nusatembini ini kemudian naik kuda sembrani terbang ke
angkasa. Dengan suara lantang sang putri menantang para prajurit pendatang
terebut, sembari berucap ”Hai prajurit Pajajaran, tunjukkan kesaktian dan
kejantananmu, tangkaplah aku. Kalau dapat menangkap diriku, aku akan tunduk,
Kerajaan Nusatembini aku serahkan kepadamu.” Melihat keperkasaan sang ratu, pra
prajurit Pajajaran menjadi tercengang dan tidak segera melakukan perlawanan.
Di bagian lain diceritakan bahwa Patih Harya Tilandanu memasuki ruang
dalam istana Nusatembini . Ketika sedang menjelajahi ruang-ruang tersebut, ia
menemukan seorang wanita yang snagat cantik. Menurut keyakinan masyarakat
setempat, putri terebut adalah Ratu Brantarara, Raja Putri Nusatembini. Sang
Patih berusaha untuk mendekati wanita tersebut, tetapi belum sampai berhasil
mendekat wanita itu lenyap dari pandangan matanya dan berubah menjadi ”golek
kencana” (boneka emas). Sang Patih menjadi gemas dan berusaha untuk memegang
golek tersebut, tetapi benda itu melejit dan mengenai tubuh sang patih hingga
terjatuh. Boneka itu mengeluarkan warna berkilau yang menyebabkan sang patih
mengalami kebutaan. Dengan adanya peristiwa itu, maka usaha utusan Pajajaran
untuk mendapatkan air mata kud asembrani sebagai obat penyembuh putri raja
mengalami kegagalan. Akan tetapi paa prajurit Pajajaran juga tidak berani
kembali pulang ke Pajajaran dengan tangan hampa karena takut ancaman hukuman
yang berat akibat kegagalannya.
Para prajurit Pajajaran kemudian menetap di daerah Nusatembini, termasuk Patih
Harya Tilandanu. Bahkan Patih Harya Tilandanu ini meninggal dunia di Cilacap
dan dimakamkan di Gunung Batur. Cerita Rakyat Cilacap mengatakan bahwa makamnya
di desa Slarang, Kecamatan Kesugihan, Cilacap. Adipati Gobog juga menjadi penghuni menetap di
wilayah Nusatembini. Mereka meninggal di wilayah ini dan dimakamkan di sebuah
tempat yang terkenal dengan sebutan makam Adipati Gobog. Lokasi makam itu sebelah selatan
jalan Jenderal Sudirman, tidak jauh dengan pasar seleko. Nama Adipati Gobog sempat diabadikan menjadi nama
jalan, sebelum berubah menjadi jalan Sudirman. Sementara itu Adipati Sendang,
makamnya di Desa Donan.
(Sumber: Buku Pengkajian dan Penulisan Upacara
Tradisional di Kabupaten Cilacap, oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi
Jawa Tengah Tahun 2006.)
(foto : google maps)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar